Jogja, SPs UGM (30/1) Pertumbuhan nama arabik
menjadi topik pilihan Askuri, S.S., M.Si., yang berhasil meraih Gelar Doktor dengan predikat Cumlaude dalam ujian terbuka doktor pada
Inter-Religious Studies Sekolah
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Acara yang berlangsung di Auditorium
Gedung Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada ini dibuka oleh Dekan
Sekolah Pascasarjana, Prof. Dr. Siti Malkhamah, M.Sc., Ph.D., yang juga sebagai
pimpinan sidang.
Askuri menjelaskan bahwa dalam perspektif linguistik
kritis, nama diri bisa dikategorikan sebagai sebuah fitur linguistik yang
mengandung informasi signifikan tentang masyarakatnya. Dalam konteks Indonesia,
nama diri terkait dengan banyak hal yang mempengaruhinya seperti tradisi,
agama, negara, dan orangtua.
“Dalam sejarah Indonesia yang dinamis, tradisi
penamaan juga berkembang dinamis,” ujar Askuri. Ia melanjutkan bahwa salah satu
bukti perkembangan nama diri adalah di masa lalu nama diri tanpa disertai
dengan family names, sangat
sederhana, biasanya terdiri dari satu kata, kadang memiliki makna, kadang hanya
merupakan bunyi tanpa makna. Sedangkan nama diri orang Jawa saat ini semakin
kompleks dan panjang, lebih sarat akan makna, dan variasi lingualnya semakin
beragam.
Pria kelahiran Lamongan, 5 Desember 1974 ini
memaparkan bahwa di antara perkembnagan tradisi penamaan di Jawa, pertumbuhan
nama Arab dari decade ke decade tampak sangat pesat. Nama-nama Arab saat ini
lebih terstandarisasi sesuai dengan transliterasi Arab-Indonesia, sementara
sebagiannya terasa lebih modern dan globalized
dengan menggunaan ejaan bahasa Inggris. Nama-nama Arab tersebut berasal dari
nama Arab murni, dan kombinasi dengan nama Jawa atau Eropa.
“Penggunaan variasi lingual dari berbagai bahasa dalam
penamaan diri masyarakat Jawa membawa pertanyaan tentang identitas, karena nama
diri merupakan identitas yang paling dekat dan melekat pada setiap manusia
sejak lahir,” jelas Askuri. Ia juga mengatakan bahwa di antara banyak studi
tentang Islam di Indonesia, sangat sedikit ahli yang mempertimbangkan
penggunaan nama diri sebagai indikator bagi pertumbuhan kesalehan dan
kebangkitan Islam. Padahal, lanjutnya, ekspresi lingual Muslim – termasuk
nama-nama Arab ““ seringkali merupakan ekspresi natural untuk mengungkapkan
jalan pikiran dan perilaku untuk mengimplementasikan Islam dalam kehidupan
sehari-hari.
Dalam disertasi yang berjudul The Growth of Arabic
Names in Java: The Politics of Naming in Islamizing Indonesia ini, Askuri
menjelaskan bahwa pertumbuhan nama Arab yang digunakan oleh orangtua dalam
memberi nma anak-anak mereka merupakan cerminan pertumbuhan literasi Qurani di
kalangan para orangtua. “Sumberdaya linguistik yang digunakan dalam penamaan
semakin luas dan jumlah kata di dalamnya semakin banyak. Hal ini mencerminkan
keluasan pengetahuan generasi baru orangtua melalui literasi dan pendidikan
serta meningkatkan mobilitas vertical mereka sebagai kenerasi baru yang lebih
makmur dan sejahtera,” ungkap Askuri.
Perubahan sosial ummat Islam mengantarkan pada
pemahaman pada sturktur yang lebih makro, yaitu politik negara terhadap ummat
Islam. Kini Islam telah menjadi salah satu penopang demokrasi dan menjadi ikon
sosial, politik, serta kultural yang tampak modern dan religius. “Hal ini
menjadikan Islam menjadi tenda kultural yang nyaman bagi ummat Islam untuk
berekspresi dan meraih cita-cita masa depan. Salah satunya melalui aspirasi
penamaan yang menghubungkan Islam dan modernitas sebagai identitas bagi
anak-anak mereka.” pungkas Askuri yang menjadi lulusan doktor ke-3869 dari UGM
ini. (ags)