Jogja, 23/1/18, “Penggunaan media massa
online kini signifikan sejalan dengan merebaknya praktik kampanye hitam yang
saling menjatuhkan kubu lawan,” tutur Pratama Dahlian Persadha, S.Sos., M.M.,
saat ujian terbuka promosi doktor dalam Ilmu Kajian Budaya dan Media, Selasa
(23/01). Acara yang berlangsung di Auditorium Gedung Sekolah Pascasarjana
Lintas Disiplin Universitas Gadjah Mada ini dibuka oleh Dekan Sekolah
Pascasarjana, Prof. Dr. Siti Malkhamah, M.Sc., Ph.D., yang juga sebagai
pimpinan sidang.
Dengan judul disertasi, Resepsi Khalayak Terhadap
Kampanye Hitam Dalam Media Massa Online Pada Pemilihan Presiden 2014, Pratama
memilih Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Yogyakarta
sebagai lokasi acuan studi atas pertimbangan karakteristik sosio-kultural dan
politik yang merepresentasikan Indonesia. Hingga kini, perkembangan teknologi
terus memberikan dampak pada masyarakat. Munculnya media masa online menjadi salah
satu contohnya. Bahkan, teknologi ini juga telah terlibat dalam proses demokratisasi
di beberapa tempat.
Chariman
& Founder CISSReC (Communication & Information System Security Research
Center ini menyampaikan, dari media massa online dan media sosial, kemudian muncul
istilah demokrasi digital yang menjadi perhatian dunia, juga Indonesia. “Media
massa online menyediakan ruang diskusi publik, termasuk membahas politik. Hal
ini menjadi jalan untuk memperoleh dukungan politik masing-masing kandidat
dengan harapan mendongkrak suara,” ujar Pratama.
Pratama menjelaskan bahwa dengan berkembangnya media
sebagai sarana mendapatkan dukungan juga menjadi sarana kampanye hitam (black campaign) dan negatif (negative campaign). Kedua kampanye
tersebut marak terjadi di pemilihan presiden Indonesia 2014 di media massa
online. Pada penelitian ini menganalisis proses konstruksi media okezone.com
dan detik.com terhadap kampanye hitam selama masa Pilpres 2014.
Dari hasil penelitian yang dilakukan Pratama,
didapatkan hasil bahwa khalayak media massa online ternyata memiliki daya
seleksi ketika menerima pesan kampanye negatif. Khalayak paham bahwa seluruh
pesan yang disampaikan melalui kampanye negatif tidaklah netral dan bertujuan
untuk mengendalikan opini khalayak. “Setiap informasi dan pesan yang terkandung
dalam kampanye negatif akan senantiasa dikonfirmasikan kepada nilai ideologi, nilai
kultural, kesepakatan keluarga, dan pengetahuan yang dimilikinya,” jelas pria
kelahiran Blora, 14 Oktober 1977 ini.
“Apa yang disampaikan oleh khalayak dalam menanggapi
media massa online memang menunjukkan sikap kritis sebagaimana ia memproduksi
makna secara polisemik. Akan tetapi, sikap kritis tersebut bukanlah datang dari
ruang murni, melainkan merupakan konsekuensi logis dari hasil penanaman nilai
melalui institusi keluarga, ideologisasi pada parpol, ataupun terpaan wacana
lainnya,” lanjut Pratama.
Pratama juga menyampaikan bahwa di tengah kehendak
membangun Indonesia yang toleran, inklusif, dan anti primordialistik, kita
dihadapkan pada fakta bahwa politik identitas masih terus menguat. Oleh karena
itu, tidak mengherankan jika kemapanan konstruksi identitas berbasis ideologi
dan agama akan muncul dalam momen politik, bahkan pada Pilpres yang akan
datang. “Semua itu menjadi pekerjaan besar bagi upaya membangun Indonesia
demokratis, menjaga identitas ke-Indonesia-an terbuka, dan masyarakat
kewargaan.” jelasnya.
Dengan disertasi tersebut, Pratama berhasil meraih
gelar doktor pada program studi Kajian Budaya dan Media dengan predikat Cumlaude dan merupakan doktor ke-3856
yang lahir dari Universitas Gadjah Mada. (ags)