“Persoalan muncul ketika hukum yang seharusnya menyampaikan realitas dan kebenaran malah menjadi simulacrum belaka yaitu citra hukum yang menyimpang, distortif, pura-pura (pseudo) dan palsu. Simularkum hadir dan dibentuk oleh language game dan game of image”. –Sudjito, Guru Besar Fak. Hukum UGM-
Pernyataan diatas diungkapkan oleh Sudjito dalam diskusi bulanan dengan tema “Refreksi Kritis atas Teologi Hukum Thomas Aquinas” yang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana UGM bekerjasama dengan Perpustakaan Sekolah Pascasarjana UGM. Lebih lanjut Sudjito memaparkan bahwa M. Foucault menilai bahwa hukum tidak dapat terlepas dari power, knowledge dan relasi social diantara keduanya. Senada dengan pernyataan Foucault, J.F. Lyotard mencermati bahwa dalam masyarakat/negara selalu terdapat bentuk permainan hukum. Pernyataan J.F. Lyotard diamini oleh W.T. Anderson yang menilai bahwa realitas hukum merupakan social construction of reality, yaitu rekayasa sosial yang inheren dengan kepalsuan.
Dalam diskusi tersebut, Sudjito mengkritisi hukum di Indonesia yang sarat dengan kepentingan politis. Para elit menggunakan media masa untuk mempengaruhi image public serta memproduksi kepalsuan. Apa yang diungkapkan oleh para pakar hukum tentang peran “power” dalam memproduksi kepalsuan hukum, juga terjadi pada masyarakat Indonesia. Rasio politik dan ekonomi sangat dominan dalam menggusur akal ketuhanan, hukum alam maupun hati nurani manusia. Padahal dengan tegas Thomas Aquinas menyatakan bahwa “kita harus tunduk kepada Tuhan daripada kepada manusia”. Ketika terdapat hukum yang sewenang-wenang terhadap masyarakat, dimana hukum tersebut merupakan produk nafsu dari politik, ekonomi, materi dan sebagainya, maka Undang-undang tersebut tidak sah.
Lebih lanjut Sudjito memaparkan bahwa krisis hukum dan keadilan yang cenderung semakin sekuler, sarat dengan kebohongan dan kepalsuan yang terjadi di Indonesia saat ini harus ditarik kembali ke habitat teologisnya sehingga kehidupan duniawi semakin bermakna.
Sudjito memaparkan bahwa terdapat 4 karakteristik teologi hukum. Pertama, teologi hukum merupakan seperangkat norma-norma sosial; kedua teologi hukum merupakan realitas kondrati universal; ketiga, teologi hukum bersifat normatis, eksis di alam sollen dan bersifat a priori; keempat, teologi hukum berfungsi sebagai pengarah, kontrol, dan ukuran terhadap perilaku manusia. Lebih detail Thomas Aquinas mengkategorikan hukum dalam 4 kategori. Pertama, lex aeterna (hukum yang bersumber dari Tuhan untuk mengatur alam semesta); kedua, lex naturalis (hukum yang berisi petunjuk umum tentang insting mempertahankan hidup, berkeluarga, mengenal Tuhan dll; ketiga lex divina (merupakan penjabaran lex aeterna, tercantum dalam kitab perjanjian (Lama dan Baru), hukum ini juga sering disebut hukum Tuhan tak tertulis; keempat adalah lex humana yaitu hukum positif atau perundang-undangan yang dibuat oleh manusia.
Dalam menanggapi pertanyaan salah seorang responden tentang mengapa manusia walaupun telah sadar bahwa hukum Tuhan merupakan hukum yang terbaik, sebagai contoh hukum qisos dalam al-Qur’an, akan tetapi mengapa negara seperti Indonesia tidak menerapkan hukum tersebut? Sudjito memaparkan bahwa, penerapan hukum sangat tergantung pada siapa yang berkuasa. Seringkali apa yang termaktub dalam kitab suci tidak bisa langsung begitu saja diterapkan. Banyak kepentingan yang bermain, sehingga penerapan hukum yang dianggap benar tidak bisa diterapkan. Selain itu, Indonesia bukan negara yang berasaskan agama tertentu.
Diskusi buku yang mengangkat tema pemikiran Thomas Aquinas merupakan diskusi ketiga dari seri pemikiran para pemikir besar. 2 Tema sebelumnya tentang pemikiran Plato serta Sigmund Freud. Diangkatnya pemirikan Thomas Aquinas (TA) didasarkan pada kenyataan bahwa TA merupakan pemikir besar yang hidup pada abad 19 yang tanpa ragu menempatkan hukum Tuhan sebagai dasar pemikiran teologi hukum. Sebagaimana para pemikir besar lainnya yang sering terpengaruh oleh jalan pemikiran guru ataupun orang-orang sebelumnya, jalan pikiran TA banyak dipengaruhi oleh Aristoteles serta ajaran Kristen. Tak heran jika TA mengatakan bahwa hukum Tuhan diatas segala-galanya. Negara, menurut TA merupakan bayangan sempurna kekuasaan dari kerajaan Tuhan, dan kekuasaan negera bersifat subordinatif terhadap kekuasaan Tuhan. Ketika negara sebagai lembaga social-teologis membuat suatu UU (lex humana) maka negara tidak boleh melampaui kewenangan yang diberikan oleh Tuhan.
Dalam menutup diskusi tersebut, Sudjono menyatakan bahwa awal dan akhir dari teologi hukum adalah keyakinan bahwa tidak ada hukum yang lebih baik daripada hukum Tuhan, oleh karena itu pemeluk agama Kristen sebaiknya menggunakan injil sebagai pedoman dalam memutuskan perkara, demikian pula umat Islam sebaiknya menggunakan al-Qur’an dalam memutuskan perkara.