Sartono Kartodirdjo adalah maestro sejarah Indonesia. Sartono
Kartodirdjo adalah sejarawan kelas wahid di Indonesia, ungkap Ahmad Syafii Maarif
sejarawan muslim Indonesia. Bahkan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ketika
memberikan kenangan tulisan sepeninggalnya Aloysius Sartono Kartodirdjo 7 Desember
2007 suatu ketika menyebut Sartono Kartodirdjo sebagai “ayatollah sejarawan
Indonesia”, dan reaksinya atas sebutan ini datar saja, ungkap Syafii Maarif.
Sartono banyak memiliki gelar kehormatan tetapi tidak diperhatikan secara seksama,
bahkan terkesan abai saja, tidak seperti laiknya banyak orang yang tidak menyandang
banyak gelar. Banyaknya gelar tidak pernah menggodanya, namun ada nilai yang
dilakukannya yakni berkarya sampai wafat untuk kemanusiaan dan bangsa. Sartono
berlari dan terus berlari dengan segala macam rintangan, sekalipun dengan retina
yang agak parah sehingga menyulitkan untuk membacanya namun tetap tidak dihiraukan.
Sartono adalah sejarawan pekerja keras. Sartono banyak meninggalkan “jejak”
pada murid-muridnya seperti Teuku Ibrahim Alfian, P. Swantoro, Dharmono Hardjowinoto,
Soedarsono, Darsiti Soeratman, Taufik Abdullah, Kuntowijoyo, Djoko Surjo, Joko
Soekiman, Soehartono, Adaby Darban, Anhar Gonggong, dan yang paling muda adalah
Bambang Purwanto.
Selain meninggalkan “jejak” dari para muridnya, Sartono mengabdikan
dirinya dalam karya tulis yang sangat banyak, berkisar pemikiran sejarah Indonesia,
metodologi sejarah, falsafah sejarah dan tidak bisa dilupakan orang adalah karya
fenomenal dan monumental The Peasant Revolt of Banten in 1888: Its condition,
Course and Sequel : Case Study of Social Movement in Indonesia(1966) dan
Protest Movement in Rural Java : A Stuy of Agrarian Unrest in the Nineteenth
and Early Twentieth Century, 1972, serta banyak karya beliau yang menjadi
rujukan penulisan sejarah sosial dan pemberontakan-pemberontakan di Indonesia
abad 18-19 bahkan abad 20.
Sebagai seorang “guru” sartono Kartodirjo dikenal “guru kiler”
sekurang-kurangnya pengakuan beberapa muridnya, seperti Anhar Gonggong. Namun
Sartono kemudian diakuinya bukan “guru kiler” tetapi perfectionist,
apalagi dalam bidang studi yang diampunya. Tidak pernah main-main dan sembarangan
memberikan nilai. Nilai 7 merupakan nilai yang langka buat Sejarawan kita ini.
Sartono Kartodirdjo telah meninggalkan kita semua secara fisik, namun perlu
diteladani kegigihannya dalam bekerja sebagai guru, sebagai penulis dan tentu
saja sebagai kepala rumah tangga. Kita terasa sekali kehilangan maestro sejarah
yang tenang, bersahaja dan asketik.
Nara Sumber :
Prof. Dr. Djoko Surjo, MA (Sejarawan, murid Sartono Kartodirjo)
Diaharapkan membahas kontribusi Sartono Kartodirdjo dalam dunia historiografi
Indonesia dan persoalan-persoalan sejarah sosial di Indonesia, lalu ke depan
bagaimana universitas dapat memunculkan “sosok” mirip Sartono Kartodirjo.
Bagaimana sebenarnya posisi Sartono Kartodirdjo dalam peta sejarawan Indonesia
dan dunia dengan gagasan memadukan ilmu-ilmu sejarah dengan ilmu sosiologi dan
politik.
Prof. Dr. Mohtar Mas’oed, MA (Ilmuwan
Politik)
Diharapkan membahas kontribusi Sartono Kartodirdjo dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan
kekerasan politik Indonesia yang disoroti Sartono dalam kaitannya dengan kondisi
saat itu dan bagaimana relevansi pendekatan yang dilakukan Sartono Kartodirjo
untuk melihat kekerasan politik di Indonesia kontemporer.
Waktu dan Tempat
Seminar serial Great Thinkers akan dilaksanakan Kamis, tanggal 22 April 2010,
pukul 09.30 – 12.00 di Ruang Seminar Lt 5 Sekolah Pascasarjana UGM
Seminar ini Untuk umum dan gratis/tanpa dipungut biaya.
Kontak person : Sdr. Nugroho (0274) 544975