STUDI FALAK KONTEMPORER
Oleh : Susiknan Azhari
(Guru Besar Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Disampaikan dalam Diskusi buku “GREAT THINKERS” Tanggal 12 Nopember 2009, di Sekolah Pascasarjana UGM
A. Pendahuluan
Menurut Azyumardi Azra kajian Islam memiliki arti luas, yang meliputi penelitian terhadap seluruh aspek peradaban Islam dan kehidupan muslim di masa lalu, sekarang, dan akan datang. Hal ini senada dengan Seyyed Hossein Nasr yang berpendapat; pada saat ini sangat mungkin untuk dikembangkan “ilmu-ilmu pasti” dalam program studi Islam karena Islam memiliki warisan yang banyak dalam bidang tersebut. Pada zaman klasik dan pertengahan Islam, “ilmu-ilmu pasti” seperti matematika, falak, kedokteran, kimia, geografi, dan fisika sangat berkembang.
Dengan pertimbangan tersebut, menurut Azyumardi Azra, program studi Islam tidak hanya dipandang sebagai program studi program teologi Islam atau penelitian hukum Islam.
Gagasan dan warisan Islam dalam bidang-bidang tersebut dapat dikontekstualisasikan pada konteks kekinian, khususnya untuk menjawab berbagai tantangan yang dihadapi umat Islam.
Dihadapkan pada tantangan tersebut, kajian falak di Indonesia belum berjalan secara maksimal. Banyak kritikan tajam dilontarkan oleh pemikir terhadap tradisi kajian falak. Komaruddin Hidayat saat menyampaikan pidato pengukuhan Guru Besar di depan civitas academica UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 24 Desember 2001 dengan tegas menyatakan bahwa kajian falak lebih didominasi pada persoalan ritual, seperti menghitung arah kiblat, awal waktu salat, dan awal bulan kamariah.
Makalah sederhana ini berusaha mengkaji bagaimana sejarah dan dinamika studi falak di dunia Islam, khususnya di Indonesia. Hal ini dirasa sangat penting untuk melihat bagaimana arah studi falak kontemporer penting untuk melihat bagaimana arah studi falak kontemporer dan kemungkinan perlunya pengembangan wilayah studi falak ke depan.
B. Ilmu Falak dalam Lintasan Sejarah
Dalam khasanah intelektual Islam klasik ilmu falak sering disebut dengan ilmu hisab, miqat, rasd, dan hai’ah. Bahkan sering pula disamakan dengan astronomi atau “falak ilmi”. Namun dalam perjalanannya ilmu falak hanya mengkaji persoalan-persoalan ibadah, seperti arah kiblat, waktu salat, awal bulan, dan gerhana. Yahya Syami dalam bukunya yang berjudul Falak Sahfat min at-Turats al-Ilmiy al-Arabiy wa al-Islamy(1997) memetakan sejarah perkembangan ilmu falak menjadi dua fase, yaitu fase pra Islam (Mesir Kuno, Mesopotamia, Cina, India, Perancis, dan Yunani) dan fase Islam.
Fase Islam ditandai dengan proses penerjemahan karya-karya monumental dari bangsa Yunani kedalam bahasa Arab. Karya-karya bangsa Yunani yang sangat mempengaruhi perkembangan ilmu falak di dunia Islam adalah The Sphere in movement (Al-Kurrah al-Mutaharrikah) karya Autolycus, Ascentions of the Signs (Matali’ al-Buruj) karya Aratus, Introduction to Astronomy (Al-Madhkhal ila ilmi al-Falak) karya Hipparchus, dan Almagesty karya Ptolomeus.
Pada saat itu, kitab-kitab tersebut tak hanya diterjemahkan tetapi ditindaklanjuti melalui penelitian-penelitian dan akhirnya menghasilkan teori-teori baru. Dari sini muncul tokoh falak dikalangan umat Islam yang sangat berpengaruh, yaitu Al-Khwarizmi dengan magnum opusnya Kitab al-Mukhtashar fi Hisab al-Jabr wa al-Muqaballah. Buku ini sangat mempengaruhi pemikiran cendekiawan-cendekiawan Eropa dan kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Latin oleh Robert Chester pada tahun 535 H/ 1140 M dengan judul Liber algebras et almucabala, dan pada tahun 1247 H/ 1831 M diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh Frederic Rosen.
Selain al-Khwarizmi, tokoh-tokoh yang ikut membangun dan mengembangkan ilmu falak, diantaranya Abu Ma’syar al-Falakiy (w. 272 H/ 885 M) menulis kitab yang berjudul Haiatul Falak, Abu Raihan al-Biruni (363-440 H/ 973-1048) dengan kitabnya al-Qanun al-Mas’udi, Nasiruddin at-Tusi (598-673 H / 1201-1274 M) dengan karya monumentalnya at-Tadzkirah fi ‘Ilmi al-Haiah, dan Muhammad Turghay Ulughbek (797-853 H/ 1394-1449 M) yang menyusun Zij Sulthani. Karya-karya monumental tersebut sebagian besar masih berupa manuskrip dan kini tersimpan di Ma’had al-Makhtutat al-‘Arabiy Kairo Mesir.
Di Indonesia ilmu falak juga berkembang pesat. Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia dinyatakan bahwa ulama yang pertama terkenal sebagai bapak falak Indonesia adalah Syekh Taher Jalaluddin al-Azhari al-Falaki. Namun, menurut penulusuran penulis sebenarnya selain Syekh Taher Jalaluddin pada masa itu juga ada tokoh-tokoh falak yang sangat berpengaruh, seperti Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Ahmad Rifa’I, dan K.H. Sholeh Darat.
Selanjutnya perkembangan ilmu falak di Indonesia dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan dan Jamil Djambek. Kemudian diteruskan oleh anaknya Siraj Dahlan dan Saadoe’ddin Djambek (1330-1398 H/ 1911-1977 M). Diantara murid Saadoe’ddin yang menjadi tokoh falak adalah H. Abdur Rachim. Beliau adalah mantan Ketua Bagian Hisab dan Pengembangan tafsir Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Karya-karyanya yang berkaitan dengan bidang hisab diantaranya: Mengapa Bilangan Ramadlan 1389 H ditetapkan 30 hari?, Menghitung permulaan Tahun Hijrah, Ufuq Mar’i Sebagai Lingkaran Pemisah antara Terbit dan Terbenamnya Benda-benda langit, Ilmu Falak, dan kalender Internasional.
C. Studi Falak Kontemporer: Ke Arah Integrasi
Sebagaimana dinyatakan oleh Amin Abdullah, hampir semua jenis kegiatan ilmu pengetahuan, baik Natural Sciences maupun Social Sciences bahkan Religious Sciences, selalu mengalami apa yang disebut dengan shifting paradigm (pergeseran gugusan pemikiran keilmuan). Kegiatan ilmu pengetahuan selamanya bersifat historis, lantaran dibangun, dirancang, dan dirumuskan oleh akal budi manusia yang juga bersifat historis. Dengan begitu, sangat dimungkinkan terjadinya perubahan, pergeseran, perbaikan, perumusan kembali, nasikh-mansukh, serta penyempurnaan rancang bangun epistemologi keilmuan. Jika tidak demikian, maka kegiatan keilmuan akan mandeg dengan sendirinya alias bersifat statis.
Studi falak dalam arti kegiatan keilmuan nuansanya demikian kaya sehingga bersifat Fallibilism of knowledge; dimungkinkan untuk dapat diubah, dikembangkan, diperbaiki, dirumuskan ulang, disempurnakan sesuai dengan semangat zaman yang mengitariya. Dengan begitu studi falak sebenarnya tidaklah bersifat statis; tidak boleh diubah-ubah, dan tidak boleh dirumuskan kembali, tapi sebaliknya ia adalah bersifat dinamis, qabilun li al-Taghyir wa al-Niqas wa Tajdid, sesuai dengan arus dan corak tantangan perubahan zaman yang selalu dialami oleh manusia muslim itu sendiri.
Dalam studi falak, aturannya, juga berlaku apa yang diistilahkan oleh Thomas Kuhn dengan normal science dan revolutionary science. Jika shifting paradigm dari wilayah normal science ke wilayah revolutionary science tidak dimungkinkan maka sebenarnya telah terjadi “kematian intelektual”. Dewasa ini, seperti ditunjukkan Syafiq Mughni dalam tulisannya yang dimuat dalam buku Ilmu Falak karya Salamun Ibrahim, perhatian kaum muslimin dalam bidang ilmu falak angat kurang sehingga paradigma yang dikembangkan Amin Abdullah di atas belum nampak di kalangan ahli falak. Dalam periode pasca kolonial hingga orde baru para ahli falak lebih banyak terkungkung oleh teori-teori klasik. Fenomena minimnya hasil penelitian dalam bidang falak merupakan salah satu tanda tentang kondisi yang dimaksud. Akibatnya muncul “pensakralan” pemikiran falak.
Namun demikian, sikap pensakralan pemikiran klasik bukan monopoli ahli falak saja. Dalam bidang mu’amalah, siyasah, dan usul fikih pun dijumpai pensakralan pemikiran dengan proposisi dan anggapan dasar yang taken for granted, hingga nyaris diterima begitu saja tanpa kritik. Hanya para peneliti yang sunguh-sungguh dan para pengasuh mata kuliah yang tidak cepat merasa puas kadang-kadang merasakan bahwa sebetulnya ilmu-ilmu yang ada itu kadang sarat dengan “anomali-anomali”, yakni penyimpangan-penyimpangan kecil, ketidaktepatan, ketimpangan-ketimpangan bahkan ada masalah-masalah yang belum terpecahkan secara tuntas.
Melihat realitas di atas, satu hal yang mungkin perlu dilakukan segera dalam rangka membangun new paradigm studi falak kontemporer di Indonesia adalah menghilangkan pola pikir dikotomis antara agama dan sains (falak dan astronomi). Oleh karena itu, sudah saatnya melakukan changing paradigm dari talabul ilm al-Falak ke dirasatul ilmi al-Falak. Dengan sistem dirasah (studi) menuntut kwalitas personil yang mampu menguasai cara berfikir ilmiah yang kritis yang berwawasan luas; yaitu peneliti dan pengajar yang gandrung pada penemuan-penemuan baru dan berjiwa inovatif.
D. Catatan Akhir
Dari pemaparan di atas dapat dinyatakan bahwa kajian falak telah berkembang dan tersebar di era keemasan Islam karena pada saat itu ilmu-ilmu keislaman, termasuk ilmu falak, dibutuhkan untuk mendukung penyebaran agama sekaligus menjadi bagian fungsional dari agama. Kemudian pasca Ulugh Beig ilmu falak mengalami stagnasi karena munculnya pola pikir dikotomis (antara falak syar’i dan falak ilmiy). Oleh karena itu, bila kaum muslimin ingin mengembangkan studi falak di Indonesia harus mengembalikan ilmu falak ke pangkalnya (bagian fungsional dari agama) dengan memperhatikan tuntutan zaman yang mengitarinya.
Dengan demikian, pengembangan studi falak kontemporer tidak bias diasingkan dari usaha penataan Islamic studies secara keseluruhan. Kehadirannya perlu mendapatkan porsi akademik yang jelas dan sekaligus memberi sumbangan nyata bagi usaha peningkatan mutu akademik kajian keislaman di Indonesia.
Wa Allahu A’lam bi as-Sawab.