INTISARI
Disertasi ini dirancang sebagai sebuah penelitian kualitatif-interpretatif terhadap pemaknaan yang terdapat pada iklan-iklan pemilihan presiden tahap II, tahun 2004, yang telah secara nyata ditayangkan di berbagai televisi selama periode kampanye antara 14-16 September 2004. Untuk mengungkapkan seluruh kekayaan intrinsik yang ada pada karya iklan, terutama sebagai karya rupa, penelitian ini menggunakan prosedur penelitian organik ikonografi-ikonologi yang dalam bidang senirupa telah diteorikan oleh Erwin Panofsky.
Citra yang berhubungan dengan ke-Islam-an, tampaknya menduduki peranan penting dalam iklan-iklan pemilihan presiden 2004. Simbol-simbol visual yang berasal dari kekayaan budaya Islam Indonesia mencerminkan ketaatan individual, maupun kesalehan sosial. Tujuan representasi itu, dalam kerangka komunikasi, tentu saja untuk menarik lebih banyak pemilih beragama Islam.Untuk membujuk pemilih, iklan-iklan kedua kandidat telah diciptakan dengan menggunakan tema-tema primordial, berisi gambaran-gambaran arketipal untuk menghidupkan mimpi-kolektif masyarakat tentang bagaimana seharusnya seorang pemimpin yang memiliki kekuatan adikodrati.
Subiakto Priosoedarsono, sebagai seniman pencipta iklan-iklan pasangan SBY-JK, telah menciptakan karya-karya iklan monumental pada Pilpres 2004 tersebut. Konsepnya tentang pemerekan-kandidat (candidate branding), adalah sebuah ekspresi subjektif yang mencerminkan gabungan Islam-Kejawen dengan konsep-konsep pemerekan dari dunia Barat. Subiakto juga tentu saja mendasari penciptaan kreatifnya dengan perhitungan-perhitungan rasional tentang situasi politik sezaman, serta perhitungan pemasaran politik.
Kata-kata kunci: Pencitraan, iklan, budaya-politik, ikonografi-ikonologi.
PENGANTAR
Pada tanggal 20 September 2004, kurang lebih 119,7 juta rakyat Indonesia memberikan suaranya dalam Pilpres tahap II Mereka memilih dua pasangan capres, yaitu Mega-Hasyim sebagai kandidat-pemangku (incumbent), dan SBY-JK sebagai kandidat-penantang. Kedua pasangan tersebut menjalani masa kampanye tahap kedua yang sangat sengit, yang berlangsung jauh lebih singkat, yaitu selama tiga hari mulai dari tanggal 14 sampai tanggal 16 September 2004. Setelah penghitungan suara, SBY-JK akhirnya memenangkan political horse-race tahap kedua itu.
Pilpres secara langsung oleh rakyat adalah sebuah sistem yang menjadi karakteristik demokrasi modern. Dalam pemilihan presiden langsung, teknik-teknik komunikasi persuasi, akan menduduki peranan yang semakin penting dalam kampanye politik. Disampaikan oleh Revrisond Baswir bahwa konsekuensi dari diterapkannya sistem pemilihan kepala negara secara langsung ala demokrasi liberal adalah meningkatnya peran iklan dan dunia periklanan dalam bidang politik. Meningkatnya peran media dan periklanan dalam politik juga dipastikan Noreena Hertz dalam bukunya The Silent Take Over.
Periklanan (advertising), adalah sebuah teknik komunikasi impersonal persuasif melalui pembelian ruang dan waktu media oleh tim kampanye kandidat, dengan dibantu oleh biro-iklan yang mereka tunjuk. Melalui iklan, tim kampanye sebagai pengiklan, mampu secara mutlak mengkonstruksi dan mengontrol isi pesan sesuai dengan yang diinginkannya. Dengan demikian, iklan dianggap sebagai media kampanye yang isi pesan serta cara penyampaiannya bisa dikontrol (controlled media) .
Melalui iklan, kandidat ditransformasi menjadi komoditas bermerek yang dipasarkan. Menurut Ted Morgan, seperti layaknya peluncuran sebuah merek produk baru, seorang kandidat terlebih dahulu harus melaksanakan uji pemasaran secara lokal di wilayah tertentu untuk mengukur daya terima khalayak. Apabila ia gagal menjalani uji pemasaran lokal tersebut, ia tidak akan dikampanyekan secara nasional. Kandidat itu akan diganti oleh kandidat lainnya. Dengan demikian, menurut ahli kampanye politik Arnold Steinberg, lepas dari cita-cita luhurnya sebagai sarana pemilihan para pemimpin secara demokratis, dalam sebuah Pemilu kandidat sebagai produk dikemas, dan di tawarkan melalui saluran-saluran pemasaran politik.
Dengan menerapkan strategi pemasaran sosial (social marketing), para kandidat yang memperebutkan jabatan-jabatan politik. Mereka dibantu oleh para konsultan politik, periset opini, serta para image-maker yaitu ahli periklanan dan humas. Kandidat sering mengambil ancangan-politik yang tidak spesifik atau tidak ekstrem, agar mampu diterima oleh spektrum khalayak yang lebih luas (catch-all). Untuk itu, tema kampanye yang terlalu fanatik, terlalu spesifik atau terlalu ideologis sedapat mungkin dihindarkan. Menurut William C. Mictchell dan Randy T. Simmons, median voter atau swing voter sering memaksa kandidat cari aman dengan posisi ‘tweedle-dee-tweedle-dum’, yang artinya tidak menawarkan hal-hal baru. Dengan cara itulah, demokrasi sebenarnya hanya menjadi alat elektoral semata, tidak pernah benar-benar menjadi alat perubahan mendasar.
Dalam pemasaran politik, para pemilih terbagi menurut segmentasi budaya politik sebagai satuan-satuan kelompok (konstituen) ketika menentukan pilihan politiknya. Budaya politik sangat menentukan bagaimana penguasa harus dicitrakan. Lance Castles menyimpulkan dari hasil-hasil polling Pemilu 2004, bahwa isu agama serta etnis, termasuk dikotomi Jawa-non-Jawa, tetap menjadi variabel penting dalam pengambilan keputusan pemberian suara. Castles menyimpulkan bahwa dalam sistem demokrasi Indonesia yang modern , variabel budaya, agama, dan etnisitas ini harus didiskusikan secara rasional ketimbang secara konfrontatif.
Konsep budaya politik menurut Albert Widjaja muncul dari bidang comparative politics, yang memiliki pengertian mirip dengan konsep dasar istilah ‘ideologi’. Pengertian budaya politik memiliki cakupan mulai dari sistem nilai, pranata serta keyakinan tentang masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, atau norma lainnya dalam masyarakat. Bahkan perdefinisi, Widjaja memasukan adat-istiadat, tahayul, dan mitos ke dalam isi pengertian budaya politik. Budaya politik dianut masyarakat dengan tujuan akhir untuk mengarahkan anggota masyarakat ke tujuan yang dikendaki bersama dalam mengatur diri mereka.
Sementara itu, dari segi historis keilmuan, Afan Gaffar menyatakan bahwa budaya politik adalah sebuah orientasi keilmuan dalam bidang kajian politik di Amerika Serikat yang muncul pasca Perang Dunia II. Orientasi yang dimaksud adalah ‘behavioralisme’, yaitu sebuah orientasi psikologis terhadap perilaku manusia dalam sistem politik sebagai objek sosial. Hal itu didasarkan pendapat bahwa sistem politik akan senantiasa mengalami proses internalisasi yang bersifat kognitif, afektif, dan evaluatif.
Menurut Benedict R. O’G Anderson, terdapat empat perbedaan konsep kekuasaan dalam masyarakat Jawa dibanding dengan konsep kekuasaan pada masyarakat Eropa modern. Perbedaan pertama adalah bahwa dalam tradisi Jawa ‘kekuasaan adalah kongkrit’, sedangkan dalam konsep Eropa modern ‘kekuasaan adalah abstrak’. Perbedaan kedua, adalah bahwa dalam tradisi Jawa ‘kekuasaan bersifat homogen’, sedangkan dalam pikiran Barat ‘kekuasaan memiliki sumber yang heterogen’. Perbedaan ketiga, adalah bahwa menurut pemikiran Jawa ‘kekuasaan dalam jagad, secara kuantum adalah tetap’, sedangkan masyarakat Barat menganggap bahwa ‘kekuasaan secara akumulatif bersifat tidak terbatas’ Perbedaan keempat, adalah bahwa budaya Jawa menganggap ‘kekuasaan secara hakiki adalah absah’, sedangkan bangsa Barat modern menganggap ‘kekuasaan secara moral adalah ambigu’.
Paparan komparatif Anderson tersebut di atas, tentu saja bersifat asimetris. Bahkan oleh Koentjaraningrat dianggap sebagai sebuah perbandingan budaya yang tidak objektif. Koentjaraningrat menganggap bahwa kepercayaan-kepercayaan yang hidup dalam budaya Jawa tersebut, kini telah menjadi unsur yang bersifat simbolis semata. Walau pun asimetris dan anakronistis, perbandingan Anderson itu masih tetap berguna untuk menunjukkan bahwa masih terdapat khasanah simbol serta gambaran-gambaran budaya yang laten dalam ketaksadaran kolektif masyarakat Indonesia dalam memandang kekuasaan, dan memimpikan pemimpin. Seberapa pun tingkat eksplisitasnya, kepercayaan itu masih tetap ada tersimpan dalam khasanah nilai budaya.
Salah satu faktor lainnya yang sangat penting dalam budaya politik Indonesia, adalah eksistensi nilai-nilai serta simbol-simbol Islami. Indonesia adalah sebuah negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia, dan mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam itu, tentu saja memiliki aspirasi politik heterogen, dan tingkat partisipasi politik yang berbeda-beda dalam bernegara.
Dari aspek historis, kekuasaan dan kepemimpinan politik Islam sebenarnya sudah mengakar di nusantara yang tumbuh melalui proses sosial dan kultural yang panjang, dan umumnya bukan hasil perang penaklukan. Dengan cara itu, Islam memiliki kontribusi besar dalam pembentukan nilai-nilai yang lekat dengan budaya politik Indonesia. Bahkan sampai saat ini, Islam bisa dianggap sebagai ’source of forces’ kehidupan politik di Indonesia.
Bagaimanakah sistem politik Islam yang ideal? Menurut M. Dhiauddin Rais, professor sejarah Islam dari Universitas Kairo, sistem politik Islam yang didasarkan kepada Al Qur’an dan Hadits Nabi, belum lah bisa ditemukan secara kongkrit dalam sistem politik modern yang telah ada di dunia sampai saat ini. Menurutnya, sistem politik Islami (an-Nizhamul Islami), harus dibangun atas dua pilar, yaitu umat (rakyat) dan syariat. Umat dengan dibimbing syariat harus memilih pemimpinnya sendiri, apapun gelar simboliknya: Khalifah, Imam atau Amirul Mu’minin.
Dalam berhadapan dengan realitas kekuasaan politik, pada umumnya posisi umat Islam di Indonesia berada secara bervariasi dalam lintasan dua kutub ekstrim ideologis, atau pendekatan strategis aspirasi politiknya di Indonesia. Menurut Bachtiar Effendy, sedikitnya ada lima pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan fenomena umat Islam ketika mereka berhadapan dengan kekuasaan negara di Indonesia. Kelima pendekatan itu adalah sebagai berikut. (1) ‘Dekonfessionalisasi Islam’, (2) ‘Domestifikasi Islam’, (3) ‘Skismatik dan Aliran’, (4) ‘Trikotomis’, serta (5) ‘Islam Kultural’. Bervariasi-nya perspektif itu, menunjukkan luasnya keragaman serta dalamnya kerumitan budaya politik Islam, dimana bertumbuh simbol-simbol yang sangat kaya, sebagai upaya untuk mengekspresikan cita-cita Islam dalam kehidupan bernegara.
Dalam kebudayaan Indonesia, melalui kajian tematis mendalam, ditemukan tiga gambaran budaya pemimpin-penguasa, yaitu: (1) ‘raja sebagai titisan dewa’(Devaraja) hasil pengaruh Hindu-Budha, (2) ‘raja sebagai wakil Allah’ (Kalifatulah), dan (3) ‘pemimpin sebagai mesiah’(Ratu Adil). Kepercayaan konseptual itu membentuk sistem legitimasi kekuasaan yang disebut Max Weber sebagai otoritas tradisional (traditional authority) dan otoritas karismatik (charismatic authority), yang bermuara pada dua presiden RI yaitu Soekarno dan Suharto. Kini Indonesia memasuki masa kepemimpinan yang disebut legal-rational outhority, yaitu ketika presiden dipilih langsung oleh rakyatnya.
Dengan uraian di atas, menjadi jelaslah bahwa dalam upaya mengkaji pencitraan, atau penggunaan simbol-simbol pada iklan-iklan politik di Indonesia tidaklah mungkin mengabaikan nilai-nilai budaya politik Jawa dan Islam.
LINGKUP DAN METODE KAJIAN
Kajian ini memusatkan diri pada iklan Pemilu di televisi, karena televisi dianggap media yang berpengaruh sebagai alat persuasi. Dalam masyarakat modern, menurut Leigh Marlowe, kompetisi antar media massa secara relatif telah dimenangkan oleh media televisi. Keunggulan media ini, karena bersifat audio-visual, yaitu yang menggabungkan komponen gambar, suara, teks, dan gerak dalam satu basis rangkaian hubungan ruang dan waktu (spatio-temporal), serta ditayangkan langsung ke rumah-rumah para pemirsa. Dalam kerangka perilaku sosial, Leigh Marlowe menyebut dominasi media televisi terhadap media lainnya itu dengan istilah “televictory” .
Saat ini, industri periklanan telah menjadi sebuah pranata budaya modern. Raymond William, menyatakan bahwa periklanan adalah sebuah bentuk produksi budaya baru yang muncul pada masyarakat ekonomi pasar tingkat lanjut. Dengan pengaruhnya yang luas industri periklanan menjadi semakin sentral dalam kreativitas budaya populer, bahkan William menyatakan ketertarikannya terhadap penggunaan istilah ‘creative’, semisal dalam jabatan ‘pengarah kreatif’ (creative-director), sebagai identifikasi diri para pencipta dan produser dalam industri periklanan. Para pencipta iklan pada umumnya adalah para seniman profesional yang terintegrasi (integrated professionals) yang bekerja berdasarkan tugas yang spesifik dari para kliennya. Terutama dalam kreativitas penciptaannya itulah, iklan bisa dianggap sebagai bentuk seni terapan (applied art) yang menerapkan prinsip-prinsip seni representasional.
Sebagai seni-terapan, iklan bisa hanya menyampaikan informasi semata, bisa juga mengingatkan, atau memberikan argumentasi pseudo-rasional, atau membujuk khalayak secara emotif. Kekuatan iklan yang paling penting dalam pemasaran politik adalah untuk membangun citra. Dalam hal ini, iklan digunakan dengan seluruh kekuatannya untuk mengkonstruksi tanda-tanda yang kongkrit secara indrawi dalam bentuk gambaran tiruan (ikon, effigy), yang pada akhirnya, melalui teknik penyajian serta penayangan yang berulang-ulang, akan mempengaruhi gambaran mental dalam benak khlayak sasaran.
Dilihat dari segi gaya atau langgam, seni iklan termasuk ke dalam seni gambar (seni piktorial) yang bersifat representasional. Dalam bidang seni-rupa, pengertian seni-representasional berada dalam pengelompokan langgam-langgam ungkapan yang berangkat dari asumsi bahwa karya seni bisa mengungkapkan rasa dan makna melalui penggambaran berbagai hal-ikhwal, misalnya benda-benda, orang-orang, pemandangan, atau cerita kejadian yang ada dalam realitas kehidupan, atau realitas serta khayalan lainnya, seperti dunia dongeng, alam mimpi, atau alam fantasi yang eksotis.
Dalam bidang seni-rupa, untuk mengkaji aspek-aspek pokok-garapan representasional dari karya seni gambar atau seni lukis, terdapat teori ikonografi-ikonologi dari sejarawan seni Erwin Panofsky. Teori ikonografi-ikonologi melihat kenyataan bahwa di samping memiliki kekayaan data-data indrawi pada dirinya sendiri, seperti warna, tekstur, garis, bidang, dan sebagainya dalam satu kesatuan komposisi bentuk (form), karya seni-piktorial juga umumnya digunakan untuk merepresentasikan realitas lainnya di luar karya itu sendiri. Itulah yang dinamakan pokok-garapan representasional yang juga memberikan andil kepada keseluruhan nilai isi intrinsik (content) sebuah karya seni.
Panofsky sebenarnya bermaksud mendasarkan suatu rangkaian tahapan prosedural pendekatan yang organik dan komprehensif dalam bidang seni rupa, terutama untuk dijadikan dasar penulisan sejarah seni. Prosedur tersebut sedemikian komprehensif, sehingga sebenarnya bisa dianggap sebuah ancangan multidisiplin atau holistik yang ada dalam bidang senirupa. Menurut teori ini, dalam mengkaji sebuah karya seni, terdapat tiga tahapan prosedural, yaitu: pertama, tahap praikonografis, berupa telaah deskripsi visual terhadap aspek representasi dari sebuah artefak. Kedua adalah tahap ikonografis, berupa ‘tahap bacaan awal’ terhadap aspek representasi (termasuk metafora dan alegori) berdasarkan interpretasi yang merujuk kepada sumber-sumber pengetahuan kepustakaan. Tahapan ketiga adalah tahapan ikonologis, berupa kajian tingkat lanjut, yang secara sintetik komprehensif meneliti seluruh aspek representasi artefak dalam kaitannya dengan pemahaman sejarah dan latar-belakang nilai-nilai budaya, kepercayaan, agama, asumsi, sampai kepada latar psikologis pembuat artefak itu sendiri. Untuk itu, dibutuhkan kepekaan si peneliti seni terhadap kecenderungan esensial dalam pikiran manusia. Pengkaji seni harus menelusuri asumsi-asumsi, kepercayaan dan kondisi psikologis si pembuat artefak (seniman) dalam kehidupan pribadinya, ketika ia berkarya, maupun ketika ia menanggapi perubahan-perubahan pada lingkungan sosialnya.
Winfried Noth memasukkan teori Panofsky ini ke dalam kelompok semiotik untuk seni lukis. W.J.T Mitchell menyebut teori ikonografi-ikonologi Panofsky sebagai kajian tentang ‘what images say’ dan ‘what to say about images’. Mitchell menyatakan bahwa rupa dan verba bukanlah dua fakta yang berbeda secara ontologis. Kedua kategori itu dibedakan hanya karena memiliki relasi khusus antara keduanya sebagai alat representasi. Rupa dan verba masing-masing meredefinisikan satu sama lainnya secara terus menerus, sejalan dengan perubahan sosial dan budaya, dan merupakan indikasi yang tajam tentang ideologi masyarakat serta seniman yang hidup dalam zaman itu. Dengan demikian, representasi visual maupun verbal, serta relasi keduanya akan mampu merepresentasikan struktur nilai dan minat masyarakat yang hidup pada satu zaman tertentu.
Sejak diformulasikan oleh Panofsky sampai saat ini, teori ikonografi-ikonologi ini tidak saja digunakan kepada bidang seni lukis, melainkan meluas kepada seni-piktorial secara umum. Bahkan ahli semiotika Italia, Umberto Eco menganggap teori ikonografis Panofsky ini memiliki tingkatan metodologis yang cukup tinggi dalam analisis komunikasi visual dan seni-piktorial, di samping seni-lukis.
Tentu saja ada perbedaan antara seni lukis dan iklan. Oleh karena itu, dan setelah melalui penelitian kepustakaan yang ekstensif, salah satu teori yang memiliki relevansi dalam upaya penerapan ikonografi-ikonologi Panofsky dalam kajian iklan, adalah ‘panduan pembacaan makna iklan’ (advertisement deciphering guidelines) dari Jib Fowles. Menurut Fowles pembacaan makna sebuah iklan (iklan cetak maupun iklan televisi) tidaklah bisa bersifat mekanistis dalam bentuk tahapan yang ketat, melainkan lebih merupakan tahapan organis yang berputar (siklis), artinya, tahap satu dan lainnya bisa saling mengisi, memodifikasi, serta melengkapi. Siklus kajian itu dirangkai ke dalam tiga tahapan, yaitu (1) tahapan ‘context for the Ad’, berupa tahapan kajian untuk memahami alasan kehadiran iklan, termasuk produk yang ditawarkan, strategi yang dipilih, serta sifat-sifat khalayak sasarannya, (2) tahapan ‘looking at the Ad’, yaitu tahapan pembacaan iklan sebagai artefak, mulai dari aspek estetik, narasi, kaitan intertekstual, daya-tarik simbolik (symbolic appeal), dan sebagainya, (3) tahapan ‘implication of the Ad’, yaitu tahapan dimana implikasi psiko-sosial dari iklan dianalisis, termasuk status sosial, kepercayaan kultural, serta komodifikasi yang ditawarkan iklan itu. Bila dilihat secara teliti, panduan Fowles di atas memiliki kemiripan dengan ikonografi-ikonologi Panofsky dalam sifat interpretatif-nya yang menuntut penerapan teori-teori dari disiplin bantu lain, dan yang karenanya mengarah kepada kajian multidisiplin.
Dari penelaahan terhadap tayangan stasiun televisi selama masa kampanye tanggal 14 – 16 September 2004, berikut di bawah ini adalah rangkuman analisis terhadap iklan-iklan yang paling representatif dari kampanye SBY-JK serta Mega-Hasyim pada Pilpres 2004 putaran kedua.
PENCITRAAN MEGAWATI
Dengan iklan-iklan taktisnya, Megawati mencoba (1) menerima dukungan dari para kiai dan Koalisi Kebangsaan, (2) menjawab harapan-harapan para pemilih, (3) mengaktivasi para pemilih pemula, dan (4) menggugah rasa aman pemilih dengan mengajukan argumen ‘Pemerintah yang sedang berjalan, teruskan saja’.
Semua iklan taktis pasangan Mega-Hasyim menggunakan format eksekusi adegan kehidupan sehari-hari (slice-of-life). Pada iklan-iklan tersebut, Megawati selalu diceritakan, berada pada layar pesawat televisi yang digambarkan sedang ditonton oleh para pengagumnya, di berbagai tempat (kantor, jalanan, warung tegal, warung sembako, atau kamar kos mahasiswa). Jadi, Megawati selalu digambarkan berada di layar televisi, tampil berbicara kepada orang-orang dalam adegan dramatisasi sehari-hari. Dengan demikian, Megawati tidak pernah menggunakan pendekatan the talking-head approach, berbicara langsung kehadapan kamera kepada penonton nyata. Artinya, dalam iklan-iklannya itu, Megawati selalu berada dalam sebuah ‘representasi dari sebuah representasi’, atau meminjam istilah Plato dalam teori peniruan, disebut sebagai ‘tiruan dari sebuah tiruan’ (mimesis mimeseos). Ini memperkuat kesan bahwa Megawati memang tidak mampu berbicara langsung kepada khalayaknya secara nyata.
Empat iklan taktis pasangan Mega-Hasyim menggunakan pendekatan di atas. Keempat iklan itu adalah: (1) ‘Koalisi Kebangsaan’, yang secara taktis menggambarkan endorsement dari kiai sejuta umat, K.H. Zaenudin MZ dan Koalisi Kebangsaan; (2) ‘Prestasi Pemerintahan Megawati’, yang menceritakan kehadiran tokoh Megawati pada layar kaca televisi, menjelaskan prestasinya selama menjadi presiden; (3) ‘Testimoni Para Pemilih’, yang menggambarkan ‘kesaksian’ para pemilih awam; (4) ‘Visi, Misi, dan Program Kerja Mega-Hasyim’, yang menampilkan Megawati dan Hasyim Muzadi di layar TV ketika menjelaskan program kerjanya apabila mereka terpilih.
Iklan ‘Keragaman Budaya’ adalah satu-satunya iklan tematik selama Pilpres tahap II. Iklan ini tampaknya bertujuan untuk mencitrakan ‘Kemegahan Megawati sebagai presiden, serta membangun mitos Mega sebagai pewaris kepemimpinan dari ayahandanya, Soekarno’. Iklan ini ditayangkan dengan frekuensi sangat tinggi selama masa kampanye tanggal 14 sampai 16 September 2004.
Iklan berdurasi 60 detik tersebut di atas, secara visual merupakan penyajian dari potongan adegan-adegan dokumenter. Digambarkan sang kandidat mulai dari masa kecil dan remaja ketika ia berada di dekat ayahandanya. Kemudian dilanjutkan dengan visualisasi ketika Megawati melaksanakan tugas-tugas kepresidenannya yang megah. Dari sekitar dua puluh bingkai gambar utama, bagian awal adalah sekuens rangkaian foto-foto (still-photo), sedangkan bagian lainnya adalah tayangan gambar bergerak (video) yang disusun dengan alihan antar adegan secara perlahan (fade-in, fade out). Dengan cara itu, iklan ini bisa disebut sebagai sebuah kolase dari gambar-gambar yang telah diambil dari album dokumentasi, yang telah direkam jauh hari sebelum iklan ini direncanakan dan diproduksi. Jadi, tidak ada mise-en-scène yang dirancang oleh tim produksi untuk dibidik dan dijadikan narasi utuh.
Iklan ini menggabungkan pendekatan ‘riwayat tentang kehebatan prestasi kandidat’ (the sainthood spot), dengan ‘berbagai penampilan kandidat ketika bekerja’ (the cinema verite spot). Gambar-gambar rekaman sejarah, disusun, dijajarkan, diurutkan, direkonstruksi ulang dalam karya budaya kolase (bricolage meminjam istilah Claude Levi Strauss), yang secara imajinatif membentuk suatu narasi tentang ‘pewarisan kepemimpinan’ serta ‘kemegahan masa premerintahan Megawati’. Satu gambar me-relay makna ke gambar lainnya, demikian seterusnya sehingga membentuk satu makna keseluruhan (good-gestalt) yang ada dalam persepsi penonton. Pengalaman estetik penonton, yaitu perasaan keindahan dan pengalaman pemaknaan, terbangkitkan dengan sendirinya sesuai dengan kerangka-acuan yang dimiliki penonton. Hal ini didasari dengan kenyataan bahwa bahasa dan rupa adalah tanda sebuah budaya, bukan sekedar alat penyampai pesan. Keindahan, ‘keimplisitan’, kerumitan, dan stilasi ungkapan komunikasi memang penting dalam kebudayaan manapun, dan terutama dalam bahasa Jawa, karena bahasa mencerminkan nilai-nilai, norma budaya, serta prinsip-prinsip ajaran yang dianut para pendukung budaya itu sendiri.
Dianalisis secara visual, iklan ini bisa dibagi menjadi tujuh bagian utama yang mengkonstruksi citra Megawati, yaitu (a) Megawati sebagai pewaris sah kepemimpinan Soekarno, (b) Megawati adalah seorang nasionalis-religius, (c) Megawati sebagai pelindung keragaman agama dan budaya, (d) Megawati adalah presiden yang telah banyak melakukan kerja sosial-kemasyarakatan, (e) Megawati adalah ‘Srikandi’ yang memiliki sifat dan kedekatan dengan militer sebagai penjaga negara, dan (f) Mega-Hasyim satu paket pilihan yang menentukan masa depan Indonesia.
Gambaran Megawati sebagai pewaris kepemimpinan Soekarno dikonstruksi secara visual melalui foto-foto masa kecil Megawati bersama Soekarno. Diawali dengan foto kenangan close-up Megawati semasa gadis berkepang dua, kemudian tampil Megawati muda yang cantik berkebaya, dan yang penting adalah close-up wajah Bung Karno sang ayahanda. Rangkaian foto-foto itu ditayangkan dalam nuansa warna hitam putih kecoklatan (sepia) seperti album foto kenangan yang telah tua (vintage), yang menyimpan banyak kenangan manis tentang sang kandidat-pemangku waktu berada di dekat Sang Proklamator.
Megawati sebagai seorang nasionalis yang religius dikonstruksi dalam sekuens yang menggambarkan pengabdian Megawati sebagai presiden. Di Iklan ini, ia dimunculkan tiga kali berkerudung, termasuk ketika mengunjungi Sri Paus. Megawati juga ditampilkan bermukena ketika sholat berjamaah didampingi putrinya Puan Maharani. Bingkai-bingkai gambar itu tentu saja untuk memberikan gambaran utuh tentang ke-muslimah-an Megawati. Perdebatan verbal dan ketakselarasan kognitif tentang ‘pemimpin perempuan dalam Islam’ dalam benak khalayak, yang menjadi kontroversi kepresidenan Megawati, akan perlahan-lahan cair dengan paparan citra visual Megawati berkerudung itu.
Selanjutnya, untuk menggambarkan Megawati sebagai pelindung keragaman agama dan budaya, dijajarkan potongan-potongan bidikan kamera tentang orang-orang dengan atribut berbagai agama, serta bangunan-bangunan peribadatan. Digambarkan juga berbagai kesenian tradisional dari berbagai suku yang ada di Indonesia. Setelah itu, ditampilkan Megawati ketika bekerja keras untuk kesejahteraan sosial.
Sekuens terpenting lainnya, adalah penggambaran tentang sifat keperwiraan ‘Srikandi’ Megawati. Di sini secara megah divisualisasikan citra glorious Megawati ketika memimpin upacara-upacara militer. Hampir sepertiga bagian dari iklan ini, memang didedikasikan untuk citra patriotisme, sebagai jiwa ‘Srikandi’ serta kemegahan ‘Tribhuwanatunggadewi’ , dari Sang Presiden. Di situ ditampilkan beberapa adegan ketika Megawati menghadiri defile, menginspeksi pasukan, mengenakan baret komando, menengadah memandang lintasan barisan pesawat pemburu TNI Angkatan Udara membelah angkasa. Ini mengingatkan kepada citra yang paling disukai oleh Megawati, yaitu seragam kebesaran yang lengkap dengan tanda jasanya. Sebagai orang sipil, Megawati mewarisi kebiasaan Bung Karno mengenakan seragam resmi dan banyak tanda-jasa.
Afiliasi simbolik dengan militer melalui atribut seragam, baret atau tanda jasa, oleh dua presiden sipil sebelumnnya (yaitu Habibie dan Abdurachman Wahid) tidak lah tampak. Bahkan pada Era Suharto pun, pada masa-masa akhir pemerintahannya, presiden pensiunan jenderal tersebut jarang sekali mengenakan atribut militer. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa sebagai presiden sipil, secara visual, Megawati mungkin mencari citra kedisiplinan militer. Dengan garapan visual seperti itulah, Megawati menjadi luar biasa karena memiliki citra hibridasi berbagai sifat yang saling berlainan dan memiliki cakupan luas, yaitu sebagai putri Soekarno yang berani melawan Suharto, perempuan dan ibu rumah-tangga yang mampu memimpin bangsa, dan ibu yang lembut namun perkasa dalam pakaian militer.
PENCITRAAN SBY
Meroketnya karir politik SBY pada era Reformasi yang dianggap fenomenal itu, kemudian dikait-kaitkan dengan mitos tentang kedatangan ‘satria piningit’. Citra satria piningit untuk SBY memang dengan sengaja dibangun oleh tim kampanyenya. TVRI menayangkan acara (feature) berjudul “Satria Piningit” yang ditayangkan berturut-turut pada tanggal 13, 20, dan 27 Juni 2004. Terlepas dari tingkat kebenarannya maupun tingkat simbolisasinya (apakah hal itu benar-benar mitos atau sekedar alegori), penamaan SBY sebagai satrio piningit sebenarnya berhubungan dengan harapan (ekspektasi) masyarakat terhadap kehadiran pemimpin yang lebih tegas dan jujur dalam memperjuangkan kepentingan rakyat jelata.
Di samping banyak ramalan-ramalan paranormal lainnya, menurut Faizal, sebenarnya ramalan tentang wahyu keprabon SBY, telah ada jauh sebelum Pemilu Presiden 2004. Mengutip beberapa sumber lisan, Faizal menulis sedikitnya tiga kiai penting sempat meramalkan SBY sebagai ‘Yang terpilih’, mereka adalah Kiai Haji Achmad Muzakky, Kiai Ahmad Khairun Nasihin, dan Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani.
Sebagai antitesa dari penampilan Megawati sebagai maharani ‘Tribhuwanatunggadewi yang megah menakjubkan’ (grandeur) dan agitatif, SBY tampil lebih sederhana, lebih rendah-hati (down to earth), tampak tanpa pretensi kekuasaan, sesuai dengan salah-satu frasa yang terkenal yang sering diucapkannya dalam iklan-iklannya: “Berilah kami kesempatan”. Ketika berbicara di atas mimbar, dengan berbagai ungkapan verbal serta gestur, ia menampilkan tingkat nada (tone) merendah dan memohon. Ucapan-ucapannya itu biasanya ditekankan dengan gerakan tangan yang simetris. Di samping gerakan-gerakan lainnya yang umum (semisal melambaikan tangan kanannya), ciri khas dari gerakan tangan SBY ketika berbicara adalah kesetangkupan (simetri) itu. Ketika ia berjalan di antara hadirin, ia menyambut tamu-tamunya dengan menangkupkan telapak-tangannya di dadanya, seperti pendeta petapa sedang berjalan. Apabila ia tidak sedang memegang mikrofon, biasanya SBY melambaikan tangannya kepada massa dengan kedua tangannya secara simetri pula. Sebelum melambaikan kedua tangannya, ia mencengkeramkan kedua tangannya ke dadanya, kemudian disusul dengan gerakan membuka lebar kedua lengannya jauh ke depan, seperti ia sedang melemparkan hatinya ke seluruh massa-nya. Gerakan itu diulanginya berkali-kali dari atas panggung ke segala arah, di mana massa mengelu-elukannya.
Menurut Desmond Morris, menengadahkan dan menelungkupkan kedua telapak tangan secara simetris, termasuk ke dalam kategori gerakan ‘the hand extend’, yaitu berupa gerakan menyodorkan kedua tangannya di depan badan sehingga membentuk posisi netral, tidak agitatif. Gerakan tangan seperti itu, tidak pula memiliki makna perintah (directive) seperti pada gerakan baton yang asimetri, semisal gerakan meninju langit atau mengacung-acungkan jari telunjuk.
Dengan demikian, kedua gerakan tangan itu mencerminkan kerendahan hati, kesantunan, dan peredam suasana. Baton menengadahkan kedua tangan, bahkan memiliki konotasi pengemis (beggar), yaitu gerakan tangan pembicara ketika memohon pendengar untuk setuju. Sedangkan gerakan kedua tangan dengan telapak telungkup, berfungsi sebagai penurun suasana hati, emosi, serta memohon pendengar untuk lebih tenang berpikir. Tampaknya, hal tersebut berkesuaian dengan uraian R.M. Soedarsono bahwa dalam pewayangan dan drama tari Jawa, gerakan tangan simetris mencerminkan kerendahan-hatian seorang ksatria. Dengan demikian gerakan-gerakan simetri yang dilakukan SBY itu, sesuai dengan teori yang disebutkan Morris serta sesuai pula dengan pakem gerakan wayang-orang seperti diuraikan Soedarsono, telah mampu mempertunjukkan kesantunan, nada permohonan, serta kerendah-hatian seorang ksatria, yang merupakan tema pokok atau positioning kandidasi SBY.
Menurut hasil kajian Subiakto Priosoedarsono (pencipta iklan pasangan SBY-JK) secara mendalam, terdapat empat nilai-inti dalam pasangan kandidat SBY-JK sebagai satu kesatuan brand, yaitu (1) pembawa perubahan, (2) pembawa kebersamaan, (3) pemimpin yang sederhana dan santun, dan (4) pasangan profesional. Keempat nilai-inti itulah yang oleh Subiakto akan dikomunikasikan dan diaktivasi melalui iklan-iklan televisi yang ia ciptakan. Upaya Subiakto itu, selaras dengan konsep yang dikembangkan oleh seorang pakar dalam merek-pribadi (personal-branding), yang menyatakan bahwa sebenarnya merek bukan citra semata, melainkan lebih substansial berakar dari sifat-sifat, prinsip, dan orientasi hidup seseorang. Ketika seseorang tokoh akan memasuki ruang sosial, maka sifat, prinsip, dan orientasi hidup orang itu harus dimanifestasikan secara: khas, relevan, dan konsisten. Merek seseorang harus memancarkan adanya ketaat-azasan pada pribadi orang tersebut.
Dari sejumlah iklan-iklan SBY-JK yang ditayangkan selama masa kampanye putaran dua, yang berlangsung antara 14 September sampai 16 September 2004, terdapat 4 (empat) iklan taktis yang paling representatif, yang menggambarkan upaya pihak SBY-JK mempengaruhi para pemilih dan mengatasi isu-isu krusial yang mengganggu kandidasi mereka. Keempat iklan itu adalah (1) Menangkan SBY!, (2) Endorsement dari Hidayat Nur Wahid, (3) Pinangan SBY Kepada JK., (4) Iklan JK menerima Pinangan SBY. Semua iklan taktis tersebut menggambarkan argumen merek SBY-JK sebagai pasangan yang memiliki nilai-nilai professional, santun, dan pembawa pembaruan.
Untuk iklan tematis, Subiakto telah menciptakan dua iklan SBY-JK didasarkan kepada konsep gara-gara, yaitu yang berturut-turut menggambarkan (1) parahnya problem bangsa sebagai kala-bendu , dan (2) kedatangan SBY-JK sebagai pembawa perubahan.
(1) Iklan ‘Kita Butuh Pemimpin’
Iklan ini merupakan sebuah upaya representasi gambaran tentang terjadinya kekacauan di marcapada, yakni sebuah prelude bagi munculnya harapan akan datangnya satria piningit ke bumi Indonesia.
Secara visual, sekuens awal iklan ini disusun dengan menggunakan potongan-potongan (stock-shots) dokumenter. Pada sekuens awal iklan ini, narator membacakan wacana tentang perlunya pemimpin baru untuk mengatasi kompleksitas masalah bangsa. Wacana itu mengiringi gambar-gambar yang disusun dengan gaya-garapan docudrama. Dengan jajaran bingkai bidikan berbagai musibah yang melanda bangsa ini (banjir, kebakaran, bom teroris), penonton diyakinkan bahwa semua itu adalah representasi kejadian sebenarnya, dan bukan mise en scène yang dirancang sutradara.
Sekuens awal tersebut di atas, kemudian ditutup dengan gambar kehancuran Hotel J.W. Marriot di Jakarta akibat bom teroris pada tanggal 5 agustus 2003. Hotel itu diambil dengan bidikan menengadah (tilting), sehingga menampakan dirinya sebagai ‘maha kerusakan’ yang sangat dramatis. Kehancuran akibat kala bendu tampak telah menggunung seperti menara, tepat seperti ungkapan populer ‘towering inferno’. Bingkai bidikan tersebut, merupakan gambar dokumenter yang mengerikan, yang dengan sengaja diletakkan sebagai akhir dari sekuens tentang segala musibah alami dan musibah sosial yang menjadi ‘penderitaan Indonesia’ selama pemerintahan Megawati itu.
Tepat pada bingkai tayangan Hotel Marriot yang luluh lantak itu, narator membacakan narasinya dekan nada tegas “Kita butuh pemimpin!”.Adegan itu dimaksudkan untuk memantapkan semua alasan kehadiran (raison de etre), SBY sebagai kandidat penantang dan sebagai satria piningit.
(2) Iklan ‘Sajadah Panjang’
Iklan Sajadah Panjang ini bisa dianggap sebuah masterpiece dalam periklanan Pilpres 2004. Bagi Subiakto, ini adalah sebuah puncak pencapaian dalam kiprahnya sebagai pionir dalam penciptaan iklan-iklan politik. ‘Iklan Sajadah Panjang’, tidak bisa dipisahkan dari ingatan orang tentang bagaimana citra SBY-JK harus dimaknai.
Dengan iklan ini, Subiakto ingin menggambarkan bahwa sebuah era baru telah datang, yang kemudian akan membawa perubahan ke arah kebaikan. Metafor dibangun dengan mengambarkan sepasang ksatria ‘datang dari langit’. Mereka lah yang ditakdirkan untuk membereskan semua keguncangan di marcapada. Rupanya, insight Subiakto sesuai dengan saran insight dari Cifford Geertz bahwa untuk memahami budaya Jawa, pertunjukan wayang bisa dijadikan sarana pendalaman pemahaman. Tidak tergantung seberapa koherensinya, atau ketidak-taatannya pada pakem-pakem cerita pewayangan, setidaknya Subiakto memang telah mendasarkan gagasannya dari gambaran-gambaran pewayangan. Menurut A.L. Becker, struktur dramatik jagad wayang yang rumit dan halus dibangun dalam plot yang lebih bersifat ‘ko-insidensi’, ketimbang plot kausal. Koinsidensi itulah yang memotivasi tindakan tokoh-tokoh dalam pewayangan. Oleh karena citra masing-masing tokoh wayang telah terekam dalam alam fikiran bawah sadar (meminjam istilah Carl Gustave Jung: archetypes ) masyarakat Indonesia, maka semua tokoh politik pada zaman modern pun selalu dirujuk dan dicoba dianalogikan dengan tokoh-tokoh pewayangan (pewandaan).
Subiakto me-wanda-kan SBY sebagai tokoh Werkudara, sedangkan JK sebagai Sentyaki. Bagi Subiakto, sosok SBY mengingatkan kepada sosok Werkudara, mulai dari penampilan fisiknya yang memang tinggi besar, serta ciri-ciri karakter-nya sebagai ksatria yang biasa berbicara lugas tanpa tèdhèng-aling-aling. Werkudara juga terkenal dengan sifat kepahlawanannya yang tegas dan gagah berani. Ia juga patuh, teguh dan jujur dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Ia terkesan kasar, tidak pernah duduk dan tidak menggunakan bahasa halus karena menganggap semua manusia sama sederajat. Hanya setelah kesuciannya tercapai melalui penghadapannya dengan Dewa Ruci, Werkudara kemudian menjadi lebih halus.
Dengan menganalogikan pasangan SBY-JK dengan pasangan Werkudara-Sentyiaki, rupanya Subiakto hendak membangunkan impian tentang dwi-tunggal, yaitu semacam impian tentang saudara-gaib (mystical sibling) yang hidup dalam mitos keseharian orang Jawa. Konsep Subiakto bahwa pasangan SBY-JK adalah satu lembaga yang tak terpisahkan, mengingatkan kepada konsep ‘dwi-tunggal’ itu.
Iklan dimulai dengan adegan SBY-JK sedang menebar sajadah, yang melambangkan pernyataan bahwa niat mereka untuk maju ke dalam kandidasi pimpinan nasional didasari oleh (1) rasa kebangsaan yang dilambangkan dengan Sang Saka sebagai latar belakang, (2) niat ibadah, dilambangkan dengan sajadah yang ditebar,(3) keluhuran yang dilambangkan dengan posisi mereka yang berada di awang-awang, dengan latar arakan awan dan kelap-kelip sinar matahari sebagai pembangkit suasana gara-gara, serta (pada bingkai-bingkai akhir) kekuasaan dilambangkan oleh atlas/candra buana (imago mundi) yang berputar melatari SBY.
Dinamisasi gambar dan dramatisasi adegan pada sekuens awal iklan ini, adalah demonstrasi dari kemampuan penciptaan estetik dalam bahasa gambar, yang mengingatkan kepada dramatisasi lukisan-lukisan zaman Barok, atau Romantisisme di Eropa. Subiakto sendiri mendeskripsikan adegan awal ini memang sebagai gara-gara, yaitu ketika ‘Bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelip katon’.
Dua tokoh berada di awang-awang membangkitkan imanjinasi tentang keluhuran, rasa transendensi makhluk luhur yang berada dalam transisi antara ‘dunia bawah’ dengan ‘dunia atas’. Ketika ditanya, tentang sumber gagasannya, Subiakto menyatakan bahwa imajinasi tentang karpet terbang sudah ada dalam tradisi seni Arab Islam.
Disini tampak sekali penggunan pendekatan emosional (emotional approach) lebih didahulukan ketimbang pendekatan rasional (rational approach). Rupanya Subiakto memahami sekali bahwa tema kekesatriaan dan kesantunan yang disandang SBY adalah masalah perasaan dan pemaknaan. Sebagai orang Jawa, tampaknya ia sudah sangat mengerti bahwa dalam penghayatan Jawa, ‘rasa’ memiliki arti yang mendalam dan meluas, tepat seperti yang diungkapkan Clifford Geertz, ‘rasa’ memiliki arti terdalam dalam kehidupan, di dalamnya terkandung pengertian perasaan (feeling), maupun makna (meaning) dalam kehidupan manusia. .
PENUTUP
Melalui representasi ‘persona’ pemimpin pada iklan, menjadi tampak dengan jelas bahwa, dalam ranah politik semua hal tidak bisa diharapkan menjadi sangat rasional. Irasionalitas, muslihat, taktik bahkan bisa disebutkan sebagai bagian esensial dan khas dari praktik politik, termasuk pada era yang disebut Max Weber sebagai legal-rasional ini. Dengan demikian, terbukti bahwa seni adalah, seperti yang disampaikan Sigmund Freud, sebuah kerja-mimpi (dream-work) . Seni adalah sarana terbaik untuk mengobjektifikasi ketak-sadaran manusia menjadi bentuk atau data-indrawi yang nyata. Dalam hal ini, iklan-iklan tematis SBY, sebagai karya seni, telah memiliki dasar yang kuat dalam ekspektasi dan ketaksadaran-kolektif masyarakat bahwa ‘sesuatu yang besar akan terjadi’.
- Dari hasil rekapitulasi KPU, jumlah ini adalah 76,63 % pemilih terdaftar yang menggunakan haknya, sedangkan 23,37 % pemilih terdaftar lainnya tidak menggunakan haknya untuk memilih, karena berbagai alasan. (w.w.w kpu.go id. 15 januari 2005)
- Seperti sudah diketahui bersama, pemenang kontes pemilihan Presiden 2004 ini adalah pasangan SBY-JK, pada putaran kedua yang telah berhasil mengumpulkan sebanyak 69.266.350, suara pemilih atau sekitar 60,62% suara dari sebanyak 114.257.054 suara yang dianggap sah oleh KPU. Di lain pihak, hanya 44.990.704 pemilih, atau sekitar 39,38% yang memberikan suaranya untuk pasangan Mega-Hasyim. (Periksa www.kpu go id. 15 Januari 2005)
- Revrisond Baswir, “Menakar Iklan Ekonomi Para Capres” (Dalam majalah Gatra, edisi No 34 tahun X, Jakarta, 10 Juli 2004), 36-37.
- Noreena Hertz, The Silent Take Over (New York: Harper Collins Publishers Inc. 2003), 105
- Periksa Wayne, 209-218.
- Ted Morgan, On Becoming America (New York: Paragon House Publisher, 1988), 312-313.
- Arnold Steinberg, Kampanye Politik Dalam Praktek, terj. M. Sidarto (Jakarta: PT nIntermasa, 1981), 261.
- Istilah catch-all ini berasal dari Riswandha Imawan, ketika membahas tentang kecenderungan mencairnya kubu kiri dan kubu kanan dan terbangunnya format catch-all party sebagai kubu tengah. Lihat Imawan, Partai Politik di Indonesia: Pergulatan Setengah Hati Mencari Jati Diri, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta, 4 September 2004), 12-21.
- William C. Mitchell & Randy T. Simon, Beyond Politic – Market Welfare and The Failure of Bereaucracy (San Francisco: Westview Press), 79.
- Lihat Lance Castles, Pemilu 2004 Dalam Konteks Komparatif & Historis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 85-95.
- Lihat Albert Widjaja, Budaya Politik dan pembangunan Ekonomi (Jakarta: LP3ES, 1982), 1-14. Lihat pula lampiran III pada buku tersebut tentang definisi ‘budaya politik’, 250-251.
- Lihat Afan Gaffar, Politik Indonesia-Transisi Menuju Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetakan IV), 2004, 97-100.
- Lihat Benedict R. O’G. Anderson,” The Idea of Power in Javanese Culture” dalam Claire Holt ed., Culture and Politics in Indonesia (Ithaca: Cornell Univertsity Press, 1977), 5-8.
- Lihat Koentjaraningrat, “Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisi, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi,” dalam Miriam Boediardjo, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1984), 128-147.
- Periksa Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerjan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, (Yogyakarta: LKiS, cetakan, 2005), 129-146. Periksa juga H.J. de Graaf & Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa (Jakarta: Pustaka Utma rafiti &KITLV, 2003), 38-48, 123-142., Periksa juga Ricklefs, 48.
- Penyampaian pribadi Djoko Suryo, 23 Juni 2009.
- M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, terj. Abdul Hayyie al-Kattani (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 73-81, 312.
- Periksa Bachtiar Effendy, Islam dan Negara, (Jakarta: PenerbitParamadina, 1998), 23-45.
- Periksa Max Weber, On Charisma and Institution Building, (Chicago: The University of Chicago Press, 1968),46.
- Leigh Marlowe, Social Psychology –An Interdisciplinary Approach To Human Behavior (Boston: Holbrook Press, Inc. 1971), 403.
- Periksa Raymond William, 53-54
- Istilah ini diajukan oleh Howard S. Becker untuk mengidentifikasi seniman yang memiliki kemampuan teknis, keterampilan sosialnya dalam membaca kecenderungan khalayak, serta paham akan canon dan conventions dalam berkarya. Lihat Howard S. Becker, Art Worlds (Berkeley et al.: University of California Press, 1982), 228-233.
- Michael Ann Holly, Panofsky and The Foundations of Art History (Ithaca: Cornell University Press, 1985), 146-150. Lihat juga Wifried Noth, Handbook of Semiotics (Bloomington: Indiana University Press, 1995), 456-457.
- Periksa Erwin Panofsky, Meaning in The Visual Arts (New York: Doubleday & Co. Inc., New York, 1955), 27-54
- Lihat Winfried Noth, Handbook of Semiotics (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1995), 419-480.
- David C. Miller (Ed.), American Iconology (New Haven and London: Yale University Press, 1993), 2.
- Miller, 2-4.
- Lihat Umberto Eco, A Theory of Semiotics (Bloomington: Indiana University Press, 1979) 12.
- Lihat Jib Fowles, Advertising and Popular Culture (London: Sage Publications, 1996), 171-174.
- Untuk bahasan tentang bahasa dan sistem simbol, lihat Alo Liliweri, Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 128-135.
- Dalam iklan, tidak ada klain identifikasi Megawati sebagai Tribhuwanatunggadewi. Namun, analogi itu disebutkan secara eksplisit dalam buku ‘Megawati The President’, karya Budi Gunawan dan Mega Tim for President, yang diterbitkan menjelang Pilpres 2004.
- Periksa Majalah Fokus , (Edisi No. 2, 23 Januari 2004), 11, 12-15, 16-22. Periksa juga Faisal , 174. Periksa juga: Purwadi, Wahyu Keprabon Susilo Bambang Yudhoyono, Satria Piningit dari Pacitan (Yogyakarta: Gelombang Pasang, Oktober 2004), 80-81.
- Irawan Saptono, Eriyanto, Tri Mariyani Parlan, Ahmad Faesol, Dyah Listyorini, Agus Sudibyo, Pemilu di Layar Kaca (Jakarta: Insitute Studi Arus Informasi, 2005), 345.
- Periksa Faizal, 185-190.
- Desmond Morris, Man Watching, A Field Guide to Human Behavior (New York: Harry N. Abrams, 1977), 59.
- Periksa R.M. Soedarsono, Wayang Wong Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990), 330.
- Wawancara Subiakto Priosoedarsono
- Hubert K. Rampersard, Authentic Personal Branding, terj. Lina Susanti Wijaya (Jakarta: Penerbit PPM, 2008), 43-54.
- David Mc nally & Karl D. Speak, Be Your Own Brand, terj. Sikun Pribadi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), 21-40.
- Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, terj. Francisco Budi Hardiman, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992), 58.
- Periksa A. L. Becker, “Text Building, Epistemology, and Aesthetics in Javanese Shadow Theatre”, dalam A.L Becker and Aram A. Yengoyan The Imagination of Reality (New Jersey: Ablex Publishing Corporation, 1979), 219.
- Periksa Carl Gustave jung, Analytical Psychology, terj. R.F.C. Hull (New York:Meridian Books, 1956), 76.
- Periksa Tim Penulis Senawangi, Ensiklopedi Wayang Indonesia, jilid 1 (Jakarta: Senawangi, 1999),291-303. Periksa pula Rio Sudibyoprono, Suwandhono,Dhanisworo, Mujiyono, Ensiklopedi Wayang Purwa (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), 115-120.
- Periksa wawancara Subiakto Priosoedarsono (Terlampir).
- Periksa wawancara Subiakto Priosoedarsono (Terlampir).
- Periksa wawancara Subiakto Priosoedarsono (Terlampir).
- Clifford Geertz,Kebudayaan dan Agama, terj.F. Budi Hardiman,(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992), 47,61.
- Periksa Sigmund Freud, Pengantar Umum Psikoanalisis, terj. Haris Setiowati (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 185.