Diskusi Buku : LNG Strategi Bisnis Energi dan Pembangunan
Perkembangan ilmu pengetahuan sebaiknya tidak hanya dipusatkan di pusat-pusat ilmu seperti Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta, akan tetapi, pusat-pusat ilmu juga sebaiknya dibangun di Aceh, Papua, Banjarmasin dan lain-lain, karena Indonesia begitu kaya dan tidak bisa diatur hanya dengan mengetahui Jawa saja.
-Irwan Abdullah, Direktur Sekolah Pascasarjana UGM-
Pernyataan diatas diungkapkan Prof. Dr. Irwan Abdullah ketika memberikan sambutan dalam diskusi buku: LNG Strategi Bisnis Energi dan Pembangunan. Diskusi buku dilaksanakan pada hari Senin, 27 Oktober 2008. Pembicara yang hadir adalah Ir. H. Aknasio Abri (Penulis buku dan Mantan Direktur PT Arun LNG), Dr. Hendra Amijaya (Dosen Fakultas Teknik UGM), Prof. Dr. Irwan Abdullah (Antropolog, Direktur SPS Universitas Gadjah Mada) dan moderator Dr. Bekti Setiawan.
Untuk mengenal lebih dekat tentang PT Arun LNG, bagaimana mekanisme dan proses kerja PT Arun LNG serta bagaimana tanggungjawab sosial PT Arun LNG kepada masyarakat sekitarnya, maka sebelum diskusi buku dimulai, diadakan pemutaran film tentang PT Arun LNG serta kegiatan sosial yang telah dilakukannya.
Dalam diskusi buku tersebut, hal yang paling banyak didiskusikan adalah tentang CSR atau cooperate social responsibility. Hal ini terjadi karena CSR saat ini sedang menjadi topik hangat karena banyak perusahaan besar yang memiliki keuntungan lebih, tidak tahu bagaimana mengelola dana tersebut. Menurut Irwan Abdullah, dana tersebut banyak dititipkan di bank-bank sebagai contoh, bank BNI dan Mandiri. CSR merupakan salah satu solusi untuk menyalurkan dana-dana tersebut serta merupakan suatu bentuk keperdulian suatu perusahaan kepada warga di sekitar perusahaan tersebut berada. Terdapat banyak contoh kasus, dimana terdapat jurang yang sangat jauh antara kehidupan pegawai perusahaan yang hidup di area perusahaan dengan masyarakat yang hidup di luar perusahaan atau pabrik tersebut. Berdasarkan hasil penelitian Prof. Mubiarto, desa yang paling miskin di Indonesia adalah desa yang berada di wilayah sekitar Caltex. Untuk memperkecil jurang tersebut, CSR merupakan salah satu jalan yang dapat di tempuh. Dalam buku LNG: strategi bisnis dan strategi pembangunan, dijelaskan bahwa CSR adalah is the way a company manages and improve its social and environment impact to generate the value for both its shareholder and stakeholder by innovating the strategy, organization and operation. Akan tetapi, menurut Irwan Abdullah, seringkali CSR dituding sebagai kegiatan yang tidak murni hanya untuk menolong masyarakat, akan tetapi terdapat agenda lain yaitu untuk mempromosikan perusahaan tersebut.
Menurut Irwan Abdullah, terdapat 4 indikator untuk menilai tingkat kesejahteraan di suatu wilayah. Pertama dari segi infrastruktur. Apakah Aceh memiliki perubahan infrastruktur karena kehadiran PT Arun? Kedua, segi structural. Apakah jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin makin kecil? Ketiga, perubahan pada dimensi cultural. Industrialisasi merupakan sebuah transformasi dari agraris ke industri. Apakah dengan perubahan ini orang Aceh semakin produktif? Keempat, perkembangan
Dalam penjelasannya, Ir. H. Akbasio Sabri mengatakan bahwa PT Arun merupakan icon dalam LNG di dunia. Kontrak penjualannya berakhir pada tahun 2014. Hal yang unik dari PT Arun adalah, walaupun PT Arun merupakan merupakan perusahaan non privit, tidak memiliki laba, akan tetapi bisa membantu pemerintah daerah. Menurut Akbasioo Sabri, beberapa kegiatan yang dilakukan PT Arun untuk mengembangkan sumberdaya masyarakat local, mendirikan fakultas teknik kimia di universitas Universitas Syeh Kuala, memberikan beasiswa untuk mahasiswa berprestasi, mengembangkan community development (CD) dengan memberikan pelatihan ketrampilan khusus bagi pemuda desa seperti operator alat berat, teknisi las, teknisi mekanik dll.
Menanggapi pertanyaan salah seorang peserta diskusi yang mengkritik kontrak kerja pengelolaan kekayan alam antara pengusaha asing dengan pemerintah Indonesia, menurut Hendra Wijaya, kita jangan hanya melihat secara sempit bahwa kekayaan alam kita banyak dikelola perusahaan asing, akan tetapi kita juga harus melihat, apakah pengusaha kita mampu untuk bergerak dalam bisnis yang high cost dan high risk ini. Bisnis migas merupakan bisnis yang high cost dan high risk, hal ini yang menyebabkan banyak pengusaha Indonesia yang tidak berani menanamkan modalnya dalam bidang ini. Tak heran, bisnis ini banyak digeluti oleh pengusaha asing yang kuat secara financial, memiliki teknologi yang handal serta berani dalam mengambil dan menangung resiko.
Sebelum menutup diskusi, Irwan Abdullah mengatakan bahwa buku ini bisa menjadi acuan bagi perusahaan lain dalam menjalankan CSR.