Jogja SPs UGM, 29/1 Kebijakan terkait ketahanan energi menjadi topik yang
dipilih drg. Regina Tetty Mary, M.Sc. dalam disertasinya yang sekaligus
mengantarnya meraih gelar doktor Studi Kebijakan. Dengan judul disertasi
Implementasi Kebijakan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Dalam Mendukung
Ketersediaan Energi Listrik, Regina memaparkan isi disertasinya dalam ujian
terbuka promosi doktor, Senin (29/01), di Auditorium Gedung Sekolah Pascasarjana Lintas
Disiplin Universitas Gadjah Mada.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Dekan Sekolah Pascasarjana,
Prof. Dr. Siti Malkhamah, M.Sc., Ph.D. ini, Regina menjelaskan bahwa pasokan energi
yang dimiliki Indonesia didominasi oleh energi fosil, dan kontribusi sumber energi
terbarukan sangat kecil. Padahal besaran simpanan energi fosil, khususnya
minyak bumi semakin menurun akibat dilakukannya pengeboran yang berlebihan.
“Kondisi ini dapat menyebabkan Indonesia rawan terhadap guncangan ketersediaan
dan harga energi yang terjadi di pasar energi Internasional,” tutur wanita
kelahiran Medan, 1 November 1958.
Permasalahan ini dapat diatasi mengingat Indonesia
memiliki sumber energi alternative terbarukan yang menjanjikan dan melimpah,
salah satunya energi panas bumi. Indonesia memiliki cadangan panas bumi
terbesar di dunia mencapai 40%. Ditambah pula dengan fakta bahwa penggunaan
panas bumi sangat efisien, ekonomis, dan ramah lingkungan. “Dengan begitu,
pengembangan energi panas bumi memiliki potensi sekaligus peluang investasi
yang menarik untuk kedepannya, tentu dengan dukungan regulasi,” jelas Regina.
Pemerintah telah mengatur melalui kebijakan untuk
mendukung implementasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) melalui UU
No. 21 Tahun 2014 tentang panas bumi, namun pemanfaatan produksi energi panas
bumi Indonesia masih belum meningkat signifikan. Salah satu PLTP di Indonesia
adalah PLTP Gunung Salak yang berada di Taman Nasional Gunung Halimun Salak,
Jawa Barat. “Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM), PLTP Gunung Salak memproduksi panas bumi terbesar dan berkontribusi
besar dalam memenuhi kebutuhan energi nasional,” ucap penulis buku “˜Keamanan
Energi”™ ini.
Sayangnya saat ini Indonesia sedang mengalami kutukan
sumber daya alam (natural resource curse)
karena meskipun memiliki sumber daya yang melimpah, namun kesenjangan dan
kemiskinan masih terjadi di pelosok Indonesia. Regina menjelaskan bahwa masih
banyak masyarakat yang belum menikmati terangnya malam dan merasa dirugikan
dengan suplai listrik yang tidak memadai padahal telah membayar tarif listrik
yang semakin tinggi. “Penguasaan energi oleh negara seharusnya bertujuan untuk
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Tetapi yang terjadi sebaliknya, rakyat
selalu menjadi korban kepentingan. Sudah saatnya pemerintah menetapkan
kebijakan untuk memprioritaskan penyediaan akses listrik bagi masyarakat yang
belum teraliri listrik, dimanapun mereka tinggal di dalam wilayah Indonesia,”
ujarnya.
Pengembangan energi panas bumi juga diperlukan
kerjasama yang sinergi dari banyak pihak seperti Kementerian Keuangan,
Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Kementerian ESDM, PT PLN, dan
tentunya dibutuhkan ketersediaan masyarakat di sekitar PLTP untuk bersama
membangun bangsa melalui kesediaan mengikhlaskan lahannya bagi PLTP.
Selain itu, Regina dalam disertasinya juga memberikan
beberapa rekomendasi, diantaranya kepada pemerintah untuk mengupayakan
membangun Wilayah Kerja Panas Bumi di daerah terpencil dan memberikan prioritas
aliran listrik kepada masyarakat sekitar. Selain itu proses perijinan untuk energi
panas bumi harus memiliki tenggat waktu yang jelas bagi perusahaan dan
regulator. “Pemerintah juga perlu memiliki political
will untuk membuat kebijakan antara PLN dan pengembang atau investor
tentang ketersediaan listrik untuk masyarakat sekitar.” tutup Regina yang
menjadi lulusan doktor ke-3865 di Universitas Gadjah Mada. (ags)