Kehadiran media internet di Indoensia sebagai Negara dengan populasi
muslim terbesar di dunia mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kiai.
Selama ini kiai dianggap mempunyai otoritas keagamaan karena kiai biasanya diapandang
sebagai orang-orang yang dapat mengerti keagungan Tuhan dan rahasia alam
sehingga meraka seakaan memiliki posisi ilahiyah.
Selain itu, kemampuan mereka
untuk menyeselaikan masalah kegamaan, sosial, psikologi, kultural, bahkan politik, pada
akhirnya membuat para kiai memiliki otoritas keagamaan yang solid di kalangan
masyarakat muslim Indonesia. Sementara itu, ada teori yang mengatakan bahwa
sifat media yang ubikuitas, membuat orang saat ini sulit membayangkan untuk
hidup tanpa media.
Fenomena ini membuat Fazlul Rahman tertarik untuk meneliti serta
menyusunnya dalam disertasi dan telah diuji di hadapan tim penguji doktor di Sekolah Pascasarjana UGM
pada Selasa, 17/1.
Fazlul menyampaikan, dalam sejarah perkembangannya media tidak
terlalu diterima oleh Muslim khusunya kalangan ulama akibat dari berbagai
factor antara lain, preferensi muslim terhadulu terhadap tradisi oral, teologi keislaman yang phobia
terhadap ikon, dan warisan kepercayaan atas kesakralan bahasa arab.
Namun, Fazlul juga menemukan fakta bahwa budaya yang berbeda akan menentukan
menerima atau tidaknya terhadap media berdasar pada studi komparasi terhadap fenomena
Wali Songo yang menggunakan media sebagai metode dakwah mereka.
Sementara itu penelitian yang dilakukan di Pandalungan, Fazlul menemukan,
budaya masyarakat di daerah tersebut bukan saja sebagai budaya hybrid antara
Jawa dan Madura, tetapi juga merupakan suatu bentuk budaya multicultural karena
masayakat setempat tetap menjaga budaya masing-masing baik Jawa maupun Madura.
Dari situasi ini disimpulkannya, bahwa agama tidak mempunyai pengaruh yang
signifikan pada saat menentukan menerima media atau tidak.
Dalam hal kontestasi antara kiai dan media, Fazlul meilai rendahnya tingkat
mediatisasi di kalangan Kaiai Pandalungan karena di satu sisi sifat hirarkris
ke-kiai-an tunduk pada aturan logika media, sementara di sisi lain, masih ada
gambar yang lebih besar dari itu yaitu factor pesantren yang masih sangat
menjaga pola tradisional.
Menurut Fazrul, kasus ini unik dimana agama dan budaya mengakar kuat
di dalam masyarakat dalam tingakatan yang berbeda, dan teori mediatisasi yang lahir di tengah Negara
Scandinavia, pada akhirnya menemukan penjelasannya ketika diaplikasikan dalam
konteks Indonesia.
Dengan judul disertai Contestation for Authority: Internet and Islam
Among Pandalungan Kiai, Fazlul berhasil meraih gelar doctornya pada program
studi Inter Religious Studies Sekolah Pascasarjana UGM yang merupakan lulusan
doctor 3480 di
Universitas Gadjah Mada.(SPs/arni)