Program Studi S2 Magister ManajemenPendidikanTinggi
Sekolah Pascasarjana UGM
Menyelenggarakan
Seri Diskusi dalam Analisis Kebijakan
Isu-isu Strategis dalam Tata Kelola Universitas Negeri di Indonesia: Apakah Membutuhkan Transformasi?
Pengantar dan laporan diskusi dapat diakses di www.manajemenpendidikantinggi.net
Seminar dapat diikuti melalui audio streaming di website
Tema 3
Dekan dan Rektor sebagai Supportive Leaders dalam Konteks Tata Kelola Perguruan Tinggi
Rabu, 18 Juli 2012, pukul 10.00 – 16.30 WIB
Latar Belakang
Efektifitas pelaksanaan tata kelola perguruan tinggi merupakan tanggung jawab pemimpin perguruan tinggi (rektorat) atau fakultas. Dalam konteks tata kelola dan sistem manajemen yang ditulangpunggungi dosen yang independen, sifat pemimpin perguruan tinggi perlu mengacu ke ciri-ciri supportive leader. Ciri ini diperlukan untuk menopang para pemimpin keilmuan (scientist leaders).
Awalnya supportive leadership banyak dilakukan sebagai gaya manajemen di dunia bisnis. Dengan semakin kompleksnya masalah manajemen pada tahun 1970-1980, teori manajemen berbasis supportive leadership menjadi berkembang. Dalam organisasi yang kepemimpinannya menggunakan pendekatan supportive leadership, aspek budaya menjadi sangat penting.
Dengan semakin tajamnya persaingan global, pemikiran efektifitas dan efisiensi tata kelola intitusi pendidikan tinggi dengan pendekatan supportive leadership semakin dibutuhkan. Dalam pandangan ini, para pemimpin universitas diharapkan menjadi leader yang supportive: memimpin lembaga untuk meningkatkan efektifitas sistem manajemen sebagai support pada para dosen (scientist leaders) yang menjadi ujung tombak kemajuan perguruan tinggi. Kepemimpinan komunitas akademik dalam wadah laboratorium/studio (scientist leadership) yang lebih menekankan pada pengembangan ilmu berbeda dengan pimpinan universitas (rektorat dan dekanat) yang lebih fokus pada manajemen sumberdaya (resource management). Kebutuhan ini juga berbeda dengan pemimpin dalam lembaga birokrasi atau militer. Dalam pemilihan rektor dan dekan diperlukan kriteria sebagai supportive leader yang harus mampu mengelola sistem manajemen perguruan tinggi.
Untuk situasi sekarang ini di Indonesia, kriteria ini dapat disampingkan dengan mudah karena proses pemilihan dekan atau rektor sering diwarnai dengan pertimbangan politis atau popularitas. Di berbagai universitas dan fakultas negeri bahkan dilakukan pemilihan dekan dengan model pilihan kepala daerah yang menggunakan sistem “one man/woman one vote”. Akibatnya terjadi politisasi fakultas yang terkait dengan pemilihan dekan. Atau politisasi universitas dalam pemilihan rektor. Prinsip one-man one vote dalam demokrasi membawa pengaruh pada sifat primordialisme dan politik praktis dalam pemilihan. Dalam jaman komunikasi canggih saat ini, dampak negatif dari pemilihan dekan dan rektor dengan menggunakan one man one vote adalah adanya black campaign, perusakan karakter, terjadinya blok-blok politik di kelompok dosen yang dapat menghancurkan sendi-sendi ilmiah di perguruan tinggi.
Di berbagai belahan dunia, di perguruan tinggi yang maju pendekatan yang dipilih bukanlah model pemilihan politik dengan asas demokrasi. Yang dipergunakan mirip dengan pemilihan CEO sebuah lembaga usaha. Dilakukan kegiatan berupa head-hunter dan meninggalkan pilihan one-man one vote. Dengan kata lain pemilihan leader dilakukan dengan appointment, bukan election. Dengan pemilihan dekan berbasis appointment, maka harapan untuk mendapatkan pemimpin lembaga akademik yang supportive akan dapat menjadi lebih baik, bukan kontes popularitas.
Tujuan Kegiatan
- Membahas ciri-ciri pemimpin keilmuan di perguruan tinggi (scientist leadership)
- Membahas ciri-ciri supportive leader untuk dekanat dan rektorat (academic leadership)
- Membahas mekanisme pemilihan dekan dan rektor, pilihan antara demokrasi one man one vote sampai ke pemilihan CEO perusahaan;
- Membahas jenjang karir rektor atau dekan dalam sistem tata kelola perguruan tinggi;
- Membahas fasilitas standar untuk pemimpin struktural dan pemimpin keilmuan.